Kisah Han Awal "Arsitek Penyulap Gedua Tua di Jakarta"

Membangun karier sebagai praktisi arsitektur, lalu mengabdi sebagai pendidik, dan terpuji sebagai arsitke konservasi. Han Awal adalah arsitek lengkap, selengkap varian karyanya.

Han Awal (Han Hoo Tjwan) Tahun 2001 Han Awal mendapatkan penghargaan dari UNESCO untuk konservasi Gedung Arsip Nasional. Mungkin momen itu adalah titik dimana penghargaan terhadap bangunan tua mulai meningkat. Tapi dalam sebuah obrolan, Yori Antar, satu-satunya putra Han yang berprofesi sebagai arsitek, mengatakan Han bukanlah penggemar elemen bangunan ‘antik’ yang dekoratif, “Ayah saya itu tidak suka ornamen. Dia seorang Bauhaus. “

Han Awal memang tumbuh pada era modern. Lahir di lingkungan pendidik di Malang, Jawa timur pada tahun 1930, saat SMA Han bercita-cita menjadi ahli fisika – meski cita-cita itu cepat pupus. Mungkin alam bawah sadarnya familiar dengan dunia merancang karena kakeknya berprofesi sebagai dekorator di pagelaran-pagelaran sandiwara atau desain pasar malam Tionghoa di Malang, sehingga Han beralih ke aristektur. Tapi ia mengenang satu kejadian menarik, “Lucunya waktu SD pada zaman Jepang, saya pernah mengatakan: Aku ingin jadi arsitek.”
Maka, dengan beasiswa dari keuskupan, kuliahlah Han Awal tahun 1950 di Technische Hoogeschool Delft, Belanda. Suryono Herlambang, arsitek yang terlibat dalam penulisan buku “Nyala Nirmana (72 tahun Han Awal)” mengatakan Han ialah salah satu arsitek yang mengalami era modern secara lengkap. “Dia mulai belajar di Belanda yang sangat kaku dan banyak batasan, lalu pindah ke Jerman pada masa modernisme berkembang, setelah Bauhaus.”
Hal ini diakui oleh Han. “Di Belanda saya berkutat dengan sentimeter karena tanahnya terbatas. Tugas-tugasnya seputar perumahan rakyat. Jadi harus efisien dan tidak boleh salah.”

Sementara arsitek-arsitek  Jerman selalu mendobrak fungsi dan estetika. Di Jerman ia belajar berpikir lebih luas.
Di Delft ia bertemu dengan rekan-rekan sejawatnya: Soewondo Bismo Sutedjo, Liem Bian Poen, Mustafa Pamuntjak, dan Sujudi. Mahasiwa-mahasiswa Indonesia ini mendirikan kelompok ATAP. Suryono Herlambang dalam tulisannya “Atap, Delft: 1953-1957. Kisah-kisah kecil tentang kelompok diskusi, perjalanan arsitektur dan persemaian arsitek modern Indonesia”, menuliskan nama ATAP dipilih karena dianggap mewakili karakter yang paling kuat dan merepresentasikan arsitektur yang berkembang di tanah air.

Bagi Han, selain arsitek Belanda Van Mook dan arsitek Jerman, Hans Scharoun, rekan-rekannya inilah yang sangat berpengaruh dalam pencarian dirinya sebagai seorang arsitek. Contohnya Sujudi yang berhasil mengambil inti kearifan lokal. “Kalau dilihat sirip Gedung Conefo (sekarang Gedung MPR dan DPR) itu prinsipnya seperti prinsip arsitektur tradisional. Kegiatan manusia ditaruh di bawah struktur utama.”
Seperti Sujudi, Han tidak mau memaksakan ciri Indonesia ke dalam bentuk bangunan. Prinsip ini ia tuangkan pada salah satu proyeknya yang paling signifikan dalam kariernya yaitu Universitas Atmajaya. Pertemanan antar etnis merupakan pertanyaan yang mendasari desain bangunan ini. Han ingin universitas ini bisa mewadahi perbedaan-perbedaan di Indonesia. “Pertanyaan yang selalu saya cari dalam karya saya adalah bagaimana membuka cakrawala untuk menjadi manusia biasa.”
Dari proyek ini pula Han bertemu dengan Presiden RI pertama, Soekarno. Dari pertemuan ini Han menyimpulkan ada satu hal yang harus dimengerti seorang arsitek, yaitu paham kerekanan itu penting. “Bung Karno sebagai klien yang juga seorang arsitek selalu memperlakukan saya selevel dengannya. Jadi kami ngobrol sebagai rekan. Lalu menterinya saat itu, Frans Seda, yang memegang gambar,” kenang Han sambil tertawa. Ia juga mengaku bukan arsitek yang menurut di hadapan Bung Karno.
Hal ini pula yang terus ia pegang sampai saat ini. “Saya tidak bicara idealisme – seperti teman saya Bian Poen. Itu justru saya hindari. Saya lebih baik bicara komitmen,” tegas Han.

Setelah itu, Han Awal juga dikenal karena pembangunan Rumah Sakit St. Carolus, Sekolah Pangudi Luhur, pabrik, Hotel Mercure di Jl. Gajah Mada dan lainnya. Satu gagasan Han yang tidak terbangun namun menakjubkan adalah Rencana Kota Inti pada tahun 1963 – sebuah masterplan yang saat ini bisa disebut superblock – yang rencananya dibangun di wilayah Mangga Besar. “Menarik sekali di tahun sekian Han Awal sudah memikirkan konsep pembangunan super seperti itu,” ungkap Muhammad Nanda Widyarta, dosen sejarah arsitektur Universitas Indonesia.
Tak hanya bertemu dengan Sujudi, proyek Conefo juga mempertemukannya dengan Ir. Soetami. Dari beliaulah Han berkesempatan untuk menapaki dunia pendidikan. Sejak tahun 1965 sampai 2000 ia tercatat sebagai dosen luar biasa di Universitas Indonesia. Selain itu ia juga pernah mengajar di Unika Soegyapranata, Semarang dan Universitas Merdeka Malang sampai 2004. Dengan demikian, Han Awal pun menunaikan komitmennya pada keuskupan untuk menjadi pengajar.

Sebagai pengajar ia terkenal sebagai guru yang sangat sopan. Sahabatnya yang juga mengajar di Universitas Indonesia, Soewondo, pada sebuah obrolan di tahun 2000 pernah mengatakan, “Saya terkadang tidak sungkan mencoret gambar milik mahasiswa, sementara Pak Han untuk melihat saja terkadang harus meminta izin.”
Sambil terus mengajar, konsistensi Han Awal semakin terbukti. Terlebih sejak ia mendirikan PT. Han Awal dan Partners architects bersama Mustafa Pamuntjak tahun 1979 di daerah Tulodong, Kebayoran Baru. Karya-karyanya terus memperkaya khasanah arsitektur Indonesia. Sejak 2009, ia bukan lagi presiden direktur PT Han Awal & Partners architects. Kini firma ini dipimpin putranya sendiri, Yori Antar.

Kini, ia lebih dikenal dengan proyek-proyek konservasinya. Dimulai dengan Gereja Katedral, Jakarta tahun 1980-an, kemudian Han dan timnya mendapat penghargaan dari UNESCO untuk proyek Gedung Arsip Nasional, tahun 2001. Yang terakhir, ia mendapat IAI award untuk proyek konservasi Museum Bank Indonesia. “Saya dijerumuskan ke dalam proyek GEreja Katedral. Mungkin ini cara Tuhan mengatur rezeki saya yang sudah tua ini.” Setelah itu, proyek konservasi pun terus berdatangan sampai sekarang.

Bisa dibilang Han Awal, walau tak banyak bicara, merupakan arsitek Indonesia yang proyek-proyeknya sangat beragam. Rafael Arsono, arsitek yang pernah bekerja dengan Han dan Yori, bercerita Yori pernah mengatakan, “Hanya bandara dan penjara saja yang belum mendapat sentuhan Han Awal.”

Tulisan ini dipublikasikan di majalah Indesign Indonesia.



0 komentar:

Posting Komentar